Visum et Repertum
Siapa Yang Berhak dan Mempunyai Wewenang Membuatnya
Oleh : dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, SpF
Membaca
harian Suara Merdeka tanggal 15 Februari 2009 yang bertajuk RS dan
Puskesmas Hanya Diperbolehkan Visum Luar membuat saya sebagai dokter
forensik sedikit tersenyum, tersenyum dalam artian bahwa profesi saya
saat ini telah banyak diakui keberadaannya. Tajuk ini berhubungan dengan
disampaikannya komentar dari Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Tegal yang
menindaklanjuti kebingungan sebagian dokter baik di Puskesmas maupun RS
mengenai keabsahan hasil Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh dokter
yang bukan dokter spesialis forensik. Mungkin selama ini istilah Visum
et Repertum telah akrab di telinga kita, tetapi tahukah kita apa
sebenarnya Visum et Repertum itu sendiri.
Didalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya tidak pernah
disebutkan istilah visum et repertum. Istilah ini hanya ditemukan dalam
Staatsblad 350 tahun 1937 yang berbunyi “Visa reperta dari
dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada
waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di
Indonesia, atau atas sumpah khusus, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
mempunyai daya bukti dalam perkara pidana, sejauh itu mengandung
keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa “.
Sampai saat ini Stbl. Tahun 1937 No.350 tersebut masih belum dicabut
meskipun KUHAP telah berlaku lebih dari dua puluh tahun. Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah ini akrab dengan para dokter Indonesia
, bahkan menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman
No.M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan bahwa hasil dari pemeriksaan Ilmu
Kedokteran Kehakiman disebut dengan Visum et Repertum. Secara harafiah,
visum berarti melihat dan repertum berarti melaporkan. Jadi inti dari
visum et repertum itu adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang
dokter dalam rangka melihat dan melaporkan sebuah barang bukti yang
diajukan pihak penyidik.
Sesuai
dengan KUHAP, seorang penyidik dimungkinkan untuk meminta bantuan ahli
dalam proses penyidikannya. Secara khusus, apabila tindak pidana
tersebut menyangkut kejahatan terhadap kesehatan ataupun nyawa manusia,
ahli yang diminta keterangannya mau tidak mau adalah seorang dokter.
Keterangan yang nantinya akan dikeluarkan oleh dokter itulah yang
disebut dengan visum et repertum. Dalam pembuatan visum et repertum,
seorang dokter dimungkinkan dengan pemeriksaan luar saja maupun
pemeriksaan luar dan dalam (otopsi). Untuk korban meninggal, sebaiknya
dilaksanakan pemeriksaan otopsi karena dengan hanya pemeriksaan luar
saja, seorang dokter tidak akan bisa menentukan penyebab kematian dari
jenazah tersebut. Sedangkan untuk korban penganiayaan atau kekerasan
seksual yang masih hidup, cukup dilakukan pemeriksaan luar saja.
Kembali
pada permasalahan awal di Kota Tegal. Masalah ini berpokok pada sah
atau tidaknya sebuah visum et repertum yang dikeluarkan oleh seorang
dokter yang bukan merupakan dokter spesialis forensik. Dalam pasal 133
KUHAP disebutkan bahwa penyidik berwenang untuk mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya. Dalam pasal ini sebenarnya boleh saja seorang dokter yang bukan
dokter spesialis forensik membuat dan mengeluarkan visum et repertum
(Visum luar maupun otopsi). Tetapi, di dalam penjelasan pasal 133 KUHAP
dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis
forensik merupakan keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh dokter
selain spesialis forensik disebut keterangan. Hal ini diperjelas pada
Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman R.I.
No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang antara lain menjelaskan bahwa
keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli merupakan alat bukti
petunjuk. Dengan demikian, konsekuensi Yuridisnya, Semua hasil visum et
repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik maupun dokter
selain dokter spesialis forensik merupakan alat bukti yang syah menurut
hukum acara pidana. Yang membedakannya adalah kedudukannya sebagai alat
bukti masih lebih tinggi visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter
spesialis forensik.
Didalam
KUHAP, alat bukti yang syah tersebut pada pasal 184 yaitu
berturut-turut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa. Beban pembuktian dari masing-masing alat bukti
tersebut berbeda sesuai dengan urutannya. Sebagai contoh keterangan
saksi harus lebih dipercaya oleh hakim apabila dibandingkan dengan
keterangan terdakwa. Demikian halnya dengan
keterangan ahli yang diberikan oleh seorang spesialis forensik tentunya
akan mempunyai beban pembuktian yang lebih besar apabila dibandingkan
dengan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan spesialis forensik.
Meskipun
demikian, kita harus sadar bahwa jumlah spesialis forensik di Indonesia
sangatlah terbatas. Jumlah dokter spesialis forensik yang tercatat pada
kolegium Ilmu Kedokteran forensik Indonesia adalah sebanyak …. Dokter
spesialis forensik. Jumlah ini tentunya sangat tidak sebanding dengan
jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia. Apalagi sampai saat ini
dokter spesialis forensik tersebut masih terkumpul di kota-kota besar
yang merupakan pusat pendidikan. Hal ini diperparah dengan semakin
meningkatnya kasus kriminalitas dari waktu ke waktu.
Prinsip
yang selalu dipegang teguh oleh seorang ahli forensik adalah waktu
pemeriksaan. Semakin cepat seorang dokter memeriksa barang bukti yang
dalam hal ini adalah jenazah atau korban hidup, maka akan semakin banyak
informasi yang dapat digali dari pemeriksaan tersebut. Dengan
bertambahnya waktu, maka akan banyak terjadi perubahan-perubahan yang
akan mempersulit pemeriksaan. Sebagai contoh perlukaan akibat kekerasan
dalam rumah tangga akan sangat berbeda apabila korban melapor segera
setelah terjadinya penganiayaan dibandingkan dengan pelaporan yang
terlambat. Hal ini terjadi karena perlukaan tersebut semakin lama akan
mengalami proses penyembuhan, sehingga keterangan yang diberikan oleh
seorang dokter akan kurang relefan lagi dengan keadaan sebenarnya. Untuk
pemeriksaan jenazah, perubahan-perubahan tersebut akan dapat dihambat
dengan cara memasukkan jenazah ke dalam lemari pendingin yang sekarang
sudah umum dimiliki oleh rumah sakit-rumah sakit daerah.
Maka
dari itu, kasus-kasus penganiayaan hidup yang membutuhkan visum luar
sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan yang dilanjutkan dengan pembuatan
visum et repertum. Apabila dokter spesialis forensik dapat sesegera
mungkin memeriksa korban, alangkah baiknya apabila pembuatan visum et
repertum tersebut oleh seorang dokter spesialis forensik. Akan tetapi,
apabila dokter spesialis forensik tidak dapat diharapkan segera
memeriksa korban, maka pembuatan visum et repertum tersebut dapat
dikerjakan oleh dokter yang bukan dokter spesialis forensik. Meskipun
nilai pembuktian di pengadilan lebih rendah dari visum et repertum yang
dikeluarkan oleh seorang spesialis forensik, hal itu tetap akan lebih
baik bagi korban karena luka-luka yang ada akan dapat segera
teridentifikasi oleh dokter pemeriksa.
Langkah
yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Tegal menurut saya
adalah sesuatu langkah maju yang baik. Memperjelas suatu polemik yang
berkembang, sehingga membuat dokter dan penegak hukum menjadi tidak
ragu-ragu dalam menjalankan fungsinya dan hasil akhir dari semuanya itu
adalah perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat